Fatwa yang dilahirkan PBNU tentu memiliki landasan yang sangat kuat. Tidak hanya Qur'an, Hadits tapi juga Ijma dan Qiyas bahkan fiqh kontemporer sebagai hasil kontektualisasi problematika masa kini di masyarakat yang lazim terlahir dari proses bahtsul masail yang telah melembaga. Demikian pula fatwa yang dirumuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Jakarta, pada 2002 tersebut. Salah satu dasarnya adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh lima periwayat hadits selain Imam Tirmidzi.
Dalam hadits itu dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar para sahabat menyalati jenazah seorang sahabat yang meninggal dalam perang Khaibar, namun Nabi sendiri tidak ikut menyalatinya. Para sahabat kemudian bertanya mengapa Nabi tidak ikut menyalati jenazah si fulan ? Nabi bersabda: "Sesungguhnya sahabatmu ini telah melakukan korupsi di jalan Allah." Setelah sahabat memeriksa ternyata ditemukan sahabat yang meninggal tadi telah mengambil dan menyembunyikan harta rampasan perang (ghanimah) senilai dua dirham sebelum harta ghanimah itu dibagi. (Penjelasan lebih rinci antara lain bisa dilihat dalam kitab Nailul Author karya As-Syaukani).
Mari kita bayangkan betapa kerasnya dampak psikologis yang dirasakan oleh para sahabat yang masih hidup saat itu ketika tokoh panutan yang selama ini mereka cinta dan puji yang diharapkan syafaatnya, gara-gara barang senilai dua dirham, ternyata enggan mendoakannya (dalam salat jenazah) di saat jiwa hendak menghadapi peradilan dari Yang Maha Adil. Soal adanya kemungkinan bahwa meski Nabi tidak menyalati tapi diam-diam beliau tetap memohonkan ampunan bagi si fulan tadi, itu masalah lain, biarlah menjadi rahasia Allah SWT. Kita dapat melihat bahwa "unjuk rasa" Nabi itu ditujukan kepada yang masih hidup, termasuk kita semua ini supaya memiliki rasa takut untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya.
Korupsi di Mata Sosiolog. Terdapat tiga pakar sosiologi korupsi yang sering dijadikan rujukan George J. Aditjondro (penulis buku Gurita Cikeas) dalam mendiskripsikan lalu lintas korupsi di suatu negeri. Mereka adalah Milovan Djilas (1965), William J. Chambliss (1973) dan Syed Hussein Alatas (1968). Dari ketiga sosiolog tersebut, untuk memahami makna korupsi, konsep yang dikemukakan Hussein Alatas lebih menarik karena lebih bernuansa "ketimuran". Menurut mantan wakil rektor University of Malay itu suatu tindakan bisa tergolong korupsi bila : Pertama, "adanya subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan atau keuntungan pribadi". Maksudnya, bila kita memperoleh kepercayaan dari negara atau sekelompok orang untuk mengelola sumber-sumber finansial tertentu kemudian tanpa dasar hukum yang jelas kita mengelolanya seperti milik sendiri, itu sudah terkategorikan korupsi. Itu bermakna bahwa korupsi tidak hanya terkait dengan kerugian negara semata. Seorang takmir masjid pun bila dia memanfaatkan kotak amal hasil sedekah para jamaah untuk membeli sound system yang dipakai di rumahnya maka perilakunya itu sudah masuk kategori korupsi. Kedua, "adanya unsur kerahasiaan". Negara atau pihak yang menitipkan dana wajib mengetahui secara akurat apakah "titipannya" tersebut telah dimanfaatkan sesuai tujuannya. Maka, ketika ada peruntukan yang dirahasiakan besaran atau penerimanya, penerima amanat sudah bisa dikatogerikan korupsi. Sebagai missal, seorang kepala desa atau sekolah yang mengalokasikan dana 10 % untuk pejabat tertentu sebagai tanda terimakasih atas cairnya dana bantuan pemerintah tanpa mencantumkannya dalam pelaporannya kelak, jelas termasuk tindakan korupsi. Ketiga, "terjadinya pelanggaran terhadap norma-norma umum". Pengertiannya sangat luas, tapi bisa disederhanakan dengan contoh berikut. Sebagai seorang pegawai, baik negeri maupun swasta, pasti terikat oleh suatu komitmen tertentu. Setidaknya tentang jam kerja. Maka ketika dia harusnya bekerja 8 jam sehari, tapi datangnya terlambat atau pulang lebih cepat maka dia sudah memenuhi syarat digolongkan koruptor. Belum lagi jika dikaitkan dengan kinerja dan produktivitas yang tidak memenuhi target. Para guru yang mengajar asal-asalan, aparatur negara yang enggan memberikan layanan, di mata sosiolog Alatas adalah koruptor.
IMBAUAN. Pada hakekatnya, korupsi di zaman Nabi maupun sekarang, sama-sama bertumpu pada tindakan tidak melaksanakan kewajiban untuk menuhi hak orang lain. Ketika kita menerima gaji dari suatu institusi (negeri / swasta), saat itu pula kewajiban ada di pundak kita. Maka bila kita tidak dapat melaksanakan kewajiban yang melekat pada gaji tersebut, sementara gaji tetap kita terima, sesungguhnya gelar koruptor dapat disematkan di dada kita. Tahukah Anda berapa nilai dua dirham yang membuat Nabi tidak berkenan menyalati si fulan di atas.? Menurut ahli hadits, Prof. A. Zahro MA (Rektor Unipdu), di masa itu harga seekor unta 10 dirham. Satu unta lazim dibarter dengan 4 ekor kambing. Dengan harga kambing sekarang Rp. 750.000, berarti harta rampasan perang yang dikorup si fulan kurang lebih Rp. 600.000. Maka, kepada para penerima gaji, upah, honor atau apapun istilahnya, mari kita mawas diri. Berapa nilai kewajiban kelembagaan atau keummatan kita yang belum kita penuhi bahkan sengaja kita abaikan selama ini. Atau malah kita sudah tidak bisa menghitung lagi akibat sudah demikian membiasanya kesalahan itu sehingga bila ditakar melebihi korupsi si fulan. Jangan-jangan kita sudah lama termasuk koruptor juga. Bila itu yang terjadi, mari kita bayangkan keengganan Nabi untuk menyalati janazah kita. Naudzubillahi min dzalik. Tapi ingat, Tuhan tidak mengenal kata terlambat untuk menerima pertaubatan kita. Jadi, stop korupsi sekarang juga, mumpung kita masih bisa salat sendiri. HM. Za’imuddin W. As’ad (zaimuddinasad@yahoo.co.id).
Posting Komentar