Normal Mode
Responsive Mode

Harap Tunggu Proses Memuat Konten Halaman


Rabu, 08 Mei 2013

Ketika saya berwawancara dengan Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam rangka menulis biografi beliau yang -alhamdulillah- kini telah terbit dengan judul "Imam al-Jami'ah", beliau menyatakan, "Sesungguhnya jabatan tertinggi itu bukan rektor atau presiden, tapi takmir masjid/mushola". Saya pun tertarik dengan statemen ini. "Mengapa demikian Prof?", tanya saya keheranan.

Dengan gaya bahasa balik bertanya, Pak Imam berkata: "Adakah yang lebih mulia dari pekerjaan takmir masjid/mushola yang setiap hari membukakan pintu masjid/mushola, lalu mengumandangkan adzan dan iqamah, menyeru kita untuk shalat dan menggapai al-falaah atau kesuksesan hidup? Sungguh mulia orang yang memakmurkan masjid/mushola sembari mengajak dan memudahkan orang lain bersujud kepada Allah".


Sepulang dari interview, saya terus berpikir hingga sampai pada kesimpulan bahwa konklusi dan statement Prof. Imam memang benar adanya. Jabatan apapun memang bisa dijadikan sarana ibadah dan dakwah, tapi untuk merealisasikannya tidak mudah. Setiap jabatan, apalagi yang disertai bayaran, tunjangan, aneka fasilitas, apalagi ketika meraihnya masih perlu trik politik dan berbagai persoalan lainnya, maka jelas sekali jabatan selain takmir masjid/mushola amat sulit dijadikan sebagai sarana untuk ibadah dan dakwah.

Berbeda dengan takmir masjid/mushola yang pada umumnya tanpa disertai tunjangan alias gratis, maka dengan segala jerih payah dan pengabdiannya untuk melayani para hamba Allah yang hendak bersujud, jelas pekerjaan itu amat mulia. Bahkan, andaikan takmir itu pun diapresiasi dengan gaji, misalnya, aktivitas memakmirkan masjid/mushola itu masih tetap unggul. Mengingat, masjid/mushola merupakan baitullah atau rumah Allah. Segala hal yang dinisbatkan kepada Allah, pasti lebih unggul daripada yang lainnya.

Hal yang perlu dipahami adalah bahwa istilah "Takmir Masjid/Mushola" tidak hanya sebatas pada ketua, bendahara, sekretaris, koordinator seksi-seksi dan semua jabatan yang biasanya terstruktur dalam organisasi ketakmiran. Akan tetapi, secara luas, kata "Takmir Masjid/Mushola" adalah sebuah predikat yang berarti "memakmurkan, meramaikan, memuliakan dan melayani segala hal yang terkait dengan kemasjidan/kemusholaan". Artinya bahwa semua orang meski bukan termasuk pengurus masjid/mushola, tapi ia tetap melayani keperluan ibadah di masjid/mushola, maka ia pun disebut "Takmir Masjid/Mushola".

Oleh karena itu, siapa saja bisa menjadi takmir, dan bahkan seharusnya setiap muslim melekatkan pada dirinya bahwa dialah takmir masjid/mushola yang harus memakmurkan baitullah dengan segala daya dan upaya. Meski secara struktural, namanya tidak tercantum, tapi kewajiban untuk mengagungkan masjid/mushola adalah kewajiban personal dan tanggung jawab setiap muslim. Para pengurus masjid/mushola hanyalah orang-orang tertentu yang ditunjuk atau diberi amanah lebih untuk memanajemen urusan teknis kemasjidan/kemusholaan. Sedangkan secara luas, segala keperluan masjid/mushola dan apapun yang berkaitan untuk kemaslahatannya adalah tanggung jawab bersama.

Ada banyak hal yang berhubungan dengan aktivitas ketakmiran. Misalnya, menjadi imam shalat rawatib, membuka pintu masjid/mushola, menjaga kebersihan masjid/mushola, mengupayakan penggalangan dana, mewaqafkan tanah untuk masjid/mushola, menyisihkan sebagian harta untuk kebutuhan masjid/mushola, menjadi muadzin atau bilal, menjaga keamanan dan ketertiban, mengikuti pengajian dan segala aktivitas ibadah yang diselenggarakan di masjid/mushola, ikut andil sebagai remaja masjid/mushola, dan banyak lagi aktivitas lain yang terkait dengan masjid/mushola.

Banyaknya aktivitas itu merupakan peluang bagi siapa saja untuk menjadi takmir masjid/mushola. Setiap orang, dengan skill dan kemampuannya sendiri, bisa memposisikan diri sebagai takmir dengan menyumbangkan apa yang ia bisa dan apa yang ia punya untuk memakmurkan rumah Allah. Karena begitu banyaknya aktivitas kemasjidan/kemusholaan dan melibatkan banyak orang atau jamaah, maka diperlukan pengurus atau orang-orang tertentu yang dipilih untuk mengorganisasir sehingga ada ketua takmir, wakil takmir, bendahara, dan seterusnya.

Namun, bukan berarti hanya para pengurus itu saja yang berkewajiban terhadap urusan ketakmiran. Semua orang harus merasa memiliki masjid/mushola dan bersemangat memberikan karya terbaiknya untuk kemaslahatan tempat ibadah yang suci itu.

Ketika suatu hari ada seseorang sedang mengangkat sebuah balok kayu untuk pembangunan masjid/mushola dan dia melakukannya sendirian, tiba-tiba Khalifah Ali bin Abu Thalib yang kebetulan lewat dan melihat peristiwa itu, beliau segera menghampiri orang tersebut. "Mengapa kamu akan masuk surga sendirian? Bantulah saudara-saudaramu yang lain dan ajaklah mereka bekerja sama memakmurkan masjid/mushola ini", kata S. Ali.

Peristiwa ini menunjukkan betapa banyak peluang untuk masuk surga dalam berkhidmat untuk masjid/mushola sehingga sangat tidak bijak jika dilakukan sendirian. Sebaliknya, betapa teganya kita membiarkan hanya segelintir orang saja yang berkhidmat untuk masjid/mushola tanpa kita bersedia membantu mereka, padahal kita mampu. Ketika kita acuh tak acuh dan tidak mau bekerja sama dalam berkhidmat untuk masjid/mushola, maka sama saja kita telah berlepas diri dari kumpulan orang-orang yang kelak dibahagiakan Allah di surga.

Lebih lanjut lagi, Rasululullah SAW menjanjikan terhadap orang yang hatinya selalu terikat dengan masjid/mushola, benaknya tak luput untuk terus memikirkan kemaslahatan masjid/mushola meski harus menghadapi tantangan dari sana-sini, maka orang seperti itu dijanjikan akan memperoleh naungan atau perlindungan Allah di hari kiamat kelak. Hari yang tak satu pun ada naungan perlindungan melainkan dari Allah swt.

Singkat kata, melihat kemuliaan dan balasan dari Allah berupa surga dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak, maka jabatan takmir masjid/mushola seharusnya diperebutkan secara personal. Artinya, setiap orang di dalam dirinya harus memposisikan diri sebagai takmir atau person yang akan selalu setia memakmurkan masjid/mushola Allah secara tulus. Dan, al-Quran memberi tanda-tanda tentang siapa takmir masjid/mushola itu? Yaitu, orang yang beriman kepada Allah dan tidak takut kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah.

Janji Rasulullah ini pasti benar dan pernyataan S. Ali juga benar. Kini, semua kembali kepada setiap pribadi seorang muslim. Apakah dia bersedia menjabat dan menjadi takmir untuk meraih kebahagiaan di akhirat ataukah tidak? Bagi orang yang memiliki visi dan misi ke depan (akhirat), jelas tugas dan posisi takmir untuk memakmurkan masjid/mushola Allah, tidak akan disia-siakannya.

Dikutip dari Tulisan H. R. Taufiqurrochman, MA on 15 Mar 2011

Perihal: Diterbitkan oleh: pada pukul 20.00 WIB

Baca Pula Artikel Terkait Dalam Kategori: .

Klik tombol "Like" bila Anda suka dengan artikel ini. Silakan poskan komentar agar saya dapat berkunjung balik ke blog Anda. Jika Anda ingin membaca artikel lain dari blog ini, maka silakan klik di sini untuk membuka daftar isi. Harap menyertakan https://mmqprobolinggo.blogspot.com/2013/05/jabatan-takmir-masjidmushola.html dan atau mencantumkan tautan untuk artikel ini bila Anda menyalin sebagian dan atau keseluruhan isinya. Terimakasih.

Posting Komentar